PERLAWANAN BANJAR DAN PERANG PUPUTAN DI BALI

Loading

 

PERLAWANAN
BANJAR

            Perang Banjar diawali dari perebutan
takhta yang terjadi di dalam keluarga Kesultanan Banjar. Sultan Adam yang
meninggal pada 1857 mewariskan takhta kepada Pangeran Hidayat. Namun, Belanda
di bawah Gubernur Jenderal Rochussen ikut campur menentukan pewaris takhta
tersebut. Sultan Adam cenderung untuk memilih Pangeran Hidayatullah. Alasannya
memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan, dan disukai
rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat
beragama dan bergaya hidup kebaratbaratan meniru orang Belanda. Pangeran Tamjid
inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan
Sultan Adam dan mengancam supaya mengangkat Pangeran Tamjid. Belanda
menginginkan Pangeran Tamjid Ullah menjadi sultan karena Belanda mengharapkan
izinnya untuk menguasai daerah pertambangan batu bara yang berada di wilayah
kekuasaan Pangeran Tamjid Ullah. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Tamjid
Ullah sebagai sultan dan Pangeran Hidayat diangkat sebagai mangkubumi Oleh
karena itu, timbullah keresahan dan pemberontakan di kalangan rakyat daerah
pedalaman karena rakyat menghendaki Pangeran Hidayat yang menjadi sultan. Pada
akhirnya, kekuasaan di Kasultanan Banjar diambil alih pemerintah Belanda,
setelah menurunkan Pangeran Tamjid Ullah dari takhta kesultanan. Cucu Sultan
Adam Al Wasikbillah ada 2 orang, yaitu:

·        
Pangeran
Hidayatullah, putra Sultan Muda Abdurrakhman dengan permaisuri putri keraton
Ratu Siti, Putri dari Pangeran Mangkubumi Nata.

·        
Pangeran
Tamjid adalah putra Abdurrakhman dengan istri wanita biasa keturunan China yang
bernama Nyai Aminah. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Banjar.
Belanda memaksakan monopoli perdagangan di Kerajaan Banjar.

Jalannya Perlawanan Rakyat Banjar dan Pangeran Antasari KendatipunPangeran
Hidayat tidak menjadi Sultan Kerajaan Banjar, tetapi ia telah mempunyai kedudukan
sebagai Mangkubumi. Pengaruhnya cukup besar di kalangan rakyatnya. Campur
tangan Belanda di kraton makin besar dan kedudukan Pangeran Hidayat sebagai
Mangkubumi makin terdesak. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengadakan
perlawanan bersama sepupunya Pangeran Antasari. Di mana-mana timbul suara
ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid
setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama
berubah menjadi bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan
tersebut dipimpin oleh seorang figur yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran
Antasari.

Pangeran Antasari, seorang bangsawan yang sudah lama hidup di kalangan rakyat
yang berusaha mempersatukan kaum pemberontak. Pada April 1859, pasukan Pangeran
Antasari menyerang pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Pada Maret 1860,
bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1278 Hijriah, para alim ulama dan para
pemimpin rakyat menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amirudin Kalifatul
Mukminin, atau pemimpin tertinggi agama. Pangeran Antasari seorang pemimpin
perlawanan yang amat anti Belanda. Ia bersama pengikutnya, Kyai Demang Leman,
Haji Nasrun, Haji Buyasin dan Haji Langlang, berhasil menghimpun kekuatan
sebanyak 3000 orang. Ia bersama pasukannya menyerang pos-pos Belanda di
Martapura dan Pengaron pada tanggal 28 April Pertempuran heat terjadi di salah
satu pusat kekuatan Pangeran Antasari, yaitu Benteng Gunung Lawak. Belanda
berhasil menduduki Benteng Gunung Lawak (27 September 1859)

Niat Belanda yang sebenarnya adalah menghapuskan Kerajaan Banjar. Hal
ini baru terlaksana setelah Kolonel Andresen dapat menurunkan Sultan
Tamjidillah, yang dianggapnya sebagai penyebab kericuhan, sedangkan Pangeran
Hidayat sebagai Mangkubumi telah meninggalkan kraton. Belanda menghapuskan
kerajaan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860 dan dimasukkan ke dalam kekuasaan
Belanda. Pangeran Hidayat terlibat dalam pertempuran yang hebat melawan Belanda
pada tanggal 16 Juni 1860 di Anbawang

Adanya ketidakseimbangan dalam persenjataan dan pasukan yang kurang terlatih,
menyebabkan Pangeran Hidayat harus mengundurkan diri. Belanda menggunakan
siasat memberikan kedudukan dan jaminan hidup kepada setiap orang yang bersedia
menghentikan perlawanan dengan menyerahkan diri kepada Belanda. Ternyata siasat
ini berhasil, yaitu dengan menyerahkan Kyai Demang Leman pada tanggal 2 Oktober
Akhir Perlawanan Rakyat Banjar Penyerahan Kyai Demang Leman mempengaruhi
kekuatan pasukan Pangeran Antasari.

Beberapa bulan kemudian Pangeran Hidayat dapat ditangkap, akhirnya diasingkan
ke Jawa pada tanggal 3 Februari Rakyat Banjar memberikan kepercayaan sepenuhnya
kepada Pangeran Antasari dengan mengangkatnya sebagai pemimpintertinggi agama
dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin pada tanggal 14 Maret
Perlawanan diteruskan bersama-sama pemimpin yang lain, seperti Pangeran
Miradipa, Tumenggung Mancanegara, Tumenggung Surapati dan Gusti Umar.

Pertahanan pasukan Pangeran Antasari ditempatkan di Hulu Teweh. Pada akhir
1860, kedudukan pasukan Pangeran Antasari semakin terjepit dan melakukan perang
gerilya. Ketika wabah penyakit melanda daerah pedalaman, di di Kampung Bayam
Bengkok inilah Pangeran Antasari meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober Akan
tetapi, perlawan an terhadap Belanda tetap dilanjutkan oleh putranya Pangeran Muhammad
Seman dan adiknya, Muhammad Said. Perjuangan dilanjutkan oleh putrinya yang
bernama Sulaiha. Perlawanan rakyat Banjar terus berlangsung dipimpin oleh
putera Pangeran Antasari, Pangeran Muhamad Seman bersama pejuang-pejuang Banjar
lainnya.


PERANG
PUPUTAN DI BALI

Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda
untuk menyerang Bali.Tokoh perang Bali adalah raja kerajaan buleleng I Gusti
Made Karangasem dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik sebagai pimpinan rakyat Buleleng.
Pada abad ke-19, di Bali terdapat banyak kerajaan, yang masing-masing mempunyai
kekuasaan tersendiri. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Buleleng, Karangasem,
Klungkung, Gianyar, Bandung, Tabanan, Mengwi, Bangli, dan Jembrana.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang gencar mengadakan perlawanan terhadap
Belanda adalah Buleleng dan Bandung. Raja-raja di Bali terikat dengan perjanjian
yang disebut Hak Tawan Karang, yaitu hak suatu negara untuk mengakui dan
memiliki kapal-kapal yang terdampar di wilayahnya. Hak Tawan Karang inilah yang
memicu peperangan dengan Belanda. Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar
di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum
tersebut memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang
terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk
melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng namun rakyat Buleleng dapat menangkis
serangan tersebut.

Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin
Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan
terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga. Dengan serangan besar-besaran, rakyat
Bali membalasnya dengan perang habis-habisan guna mempertahankan harga diri
sebagai orang Bali. Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan
Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba
(1908), dan Puputan Klungkung (1908).

Pada sekitar abad 18, para penguasa Bali menerapkan hak tawan karang, yaitu
hak yang menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan Bali berhak merampas dan menyita
barangbarang dan kapal-kapal yang terdampar dan kandas di wilayah perairan
Pulau Bali.

Latar
Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Bali

·        
Pemerintah
kolonial Belanda ingin menguasai Bali. Yaitu berusaha untuk meluaskan daerah
kekuasaannya. Perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja
Klungkung, Bandung, dan Buleleng dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa
kerajaannya berada di bawah kekuasaan negara Belanda. Raja memberi izin
pengibaran bendera Belanda di daerahnya.

·        
Pemerintah
kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah menjadi tradisi
rakyat Bali. Hak Tawan Karang adalah hak raja Bali untuk merampas perahu yang
terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.

Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di
Buleleng bagian timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di
pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda
menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan
hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti
Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang
Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan
meriam dari pantai.

Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan. Buleleng dapat menghambat majunya
laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil
menduduki satupersatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar
Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I
Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat purapura
menyerah dan tunduk kepada Belanda. Raja Buleleng (Bali) beserta penulisnya. Dalam
rangka perlawanan terhadap Belanda, raja-raja Bali melancarkan hukum adat hak
tawan karang. Dan dalam perang melancarkan semangat puputan.

I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan.
Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa
yang bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat
ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa
Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang.
Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat
gerakan musuh. Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal karena
Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang
laskar Jagaraga.

I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan,
bertekad untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan
demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali. Pada 1849, Belanda kembali
mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka
menyerang Benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga menyerang Karang Asem.
Pada 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung. Raja dan rakyatnya melakukan
perlawanan sampai titik darah penghabisan.

Perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan dikenal dengan puputan.
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda
mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur persiapan,
mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah,
yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga. Pertempuran sengit
tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada.
Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan
di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga
yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19
April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai
Bali Utara

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *